Ismail Suardi Wekke: Passion Market Persempit Kesenjangan Akademik dan Pasar KerjaMakassar, kata.rawaaopakonsel.ac.id | Geliat transformasi pendidikan tinggi tak lagi cukup mengandalkan ruang kuliah dan tumpukan diktat. Era disrupsi menuntut mahasiswa melampaui batas kognitif: mengasah keterampilan praktis, menjajaki jejaring profesional, dan menyentuh langsung denyut dunia industri. Dalam konteks itulah, kehadiran Passion Market yang dijadwalkan bergulir November 2025 mendatang, disambut dengan antusias oleh kalangan akademisi.
Bagi sebagian civitas akademika, Passion Market tak sekadar even bazar. Ia menjelma menjadi learning ecosystem alternatif, tempat transfer nilai dan orientasi karir mahasiswa terjadi dalam atmosfer yang kolaboratif dan kontekstual.
Dr. Ismail Suardi Wekke, akademisi dan praktisi pendidikan yang dikenal aktif menyoroti dinamika link and match antara perguruan tinggi dan industri, menyatakan apresiasinya. “Kegiatan ini tidak berhenti pada euforia kegiatan mahasiswa semata. Passion Market adalah jawaban atas stagnasi orientasi pembelajaran yang terlalu teoritik. Ini adalah bentuk experiential learning yang sangat kami dukung,” tegasnya.
Menurut Ismail, ekosistem pendidikan tinggi idealnya memang memberi ruang interdisciplinary approach dan career exposure sejak mahasiswa menempuh studi. “Masalah kita selama ini adalah kurikulum yang tak cukup fleksibel merespons kebutuhan zaman. Kegiatan seperti ini adalah bentuk konkret bridging program yang mempertemukan akademia dengan pelaku industri secara langsung,” tambah dosen yang juga terlibat dalam berbagai program student entrepreneurship development ini.
Rencananya, Passion Market akan menghadirkan sejumlah pelaku industri kreatif, start-up digital, hingga UMKM unggulan yang siap berkolaborasi dengan mahasiswa dari berbagai bidang keilmuan. Mulai dari sesi talkshow, skill-based workshop, hingga mini career fair, even ini digadang-gadang menjadi ruang strategis bagi mahasiswa untuk menemukan, membentuk, dan menyusun kembali orientasi profesional mereka.
Dukungan dari perguruan tinggi terhadap inisiatif semacam ini juga menguatkan satu pesan penting: kampus hari ini tak boleh lagi menjadi menara gading. Kampus harus hadir sebagai incubator of talent, yang mengakomodasi eksplorasi minat, penguatan bakat, dan realisasi ide-ide mahasiswa menjadi portofolio konkret.
“Harapan kami, Passion Market bukan hanya menjadi event sesaat, tapi masuk dalam calendar of academic culture. Kegiatan ini bisa menjadi best practice yang dilanjutkan dalam bentuk student industrial immersion atau community-based project,” pungkas Ismail.
November masih jauh, tetapi gema Passion Market telah memberi sinyal bahwa masa depan pendidikan tinggi sedang bergerak: lebih adaptif, lebih responsif, dan tentu saja, lebih membumi. (*)


Tidak ada komentar